Tuesday, 11 January 2011

.::: Indonesia-Malaysia, Serumpun Beda Nasib :::.


Presiden Yudhoyono dan 
PM Malaysia Najib Tun Razak
Eva adalah sepupu saya. Neneknya dan nenek saya memiliki nenek yang sama, sehingga berdasarkan sistem matrilineal yang dianut rakyat Minangkabau, saya dan Eva adalah bagian dari satu keluarga yang disebut "satu kaum." Meski sekaum, sekarang kewarganegaraan kami berbeda.

"Saya tiada masalah dengan isu itu (Tari Pendet--red), sebab saya sudah hidup di Malaysia dari sejak lahir. Jadi apa yang terjadi di Indonesia saya tiada kena-mengena walaupun nenek saya berasal dari Indonesia."Eva (19 tahun, warga negara Malaysia)

Nenek Eva yang bernama Ida, merantau bersama suaminya ke Kuala Lumpur, Malaysia, ketika negeri jiran ini belum merdeka. Ibu Eva lahir di sana dan menjadi warga negara Malaysia. Menikah dengan warga negara sana, sampai mempunyai beberapa anak termasuk salah satunya Eva. Namun Nenek Ida, seperti dikatakan oleh adiknya yang memilih tinggal di kampung, tak mau melepas kewarganegaraan Indonesianya. Sebuah rumah pun telah dibelinya di Kota Padang untuk tempat dia menetap di hari tua.

Eva sekeluarga bukan satu-satunya keluarga saya yang menetap di Malaysia. Beberapa anak dari kakak bapak saya sekarang juga menetap di Malaysia. Salah satu sepupu ini bahkan pernah sama-sama berkuliah dengan saya di sebuah universitas negeri di Yogyakarta. Setelah lulus, dia pun merantau ke Malaysia mengikuti jejak kakak-kakaknya, sementara saya memilih “merantau” ke Jakarta.

Mereka juga sudah beranak-pinak di Kuala Lumpur. Anak-anak mereka, atau keponakan bagi saya, jelas berkewarganegaraan Malaysia karena sebagai bekas jajahan Inggris, mereka menganut asas kelahiran untuk menentukan kewarganegaraan. Jika pulang kampung ke Sumatera Barat, mereka harus memakai paspor Malaysia.

Hubungan Sumatera Barat dan Malaysia bak "mata hitam dan mata putih," jika memakai istilah Jusuf Kalla mengenai hubungan Melayu dan Bugis. Jauh sebelum aturan gratis membayar fiskal jika mengantongi Nomor Pokok Wajib Pajak, warga Sumatera Barat yang terbang ke Malaysia sudah jauh-jauh hari menikmatinya. Jika memiliki paspor beralamat di Sumatera Barat, tak perlu membayar fiskal jika hendak ke Malaysia.

Dalam seminggu, ada beberapa penerbangan langsung dari Padang ke Kuala Lumpur. Bahkan lebih cepat sampai ke Kuala Lumpur daripada ke Jakarta. Bagi sejumlah kalangan yang berduit, berobat ke Malaysia lebih disukai daripada ke Jakarta.

Hubungan dua kawasan ini telah berlangsung lama bahkan sebelum negara Indonesia dan Malaysia ada. Bagi orang Minang, Negeri Sembilan, salah satu dari sembilan kerajaan di Malaysia, dianggap bagian dari Alam Minangkabau yang terdiri dari "Luhak" dan "Rantau".

Ada tiga Luhak yang merupakan inti Alam Minangkabau dan sejumlah rantau yang menyebar di sekeliling Luhak dan bahkan menyeberang sampai ke Semenanjung Melayu. Selain Negeri Sembilan, ada pula Meulaboh dan Tapaktuan (Aceh), Mukomuko (Bengkulu) dan Kerinci (Jambi) yang dianggap bagian dari Rantau ini.

Di Tapaktuan, Aceh Selatan, komunitas Minang ini dikenal sebagai Aneuk Jamee atau "Orang Tamu" yang dikenal dari bahasanya yang mirip dengan Bahasa Minang. Saya biasa bercakap dengan bahasa Minang dialek Pariaman dengan seorang teman yang berasal dari Aceh Selatan. Sementara di Negeri Sembilan, raja yang berkuasa adalah bagian dari keturunan Raja Malewar, pangeran dari Pagarruyung yang dikirim ke sana untuk memerintah pada abad 18. Dan Kepala negara Malaysia yang pertama, Tunku Abdul Rahman, adalah keturunan ke-11 Raja Malewar ini.

***

"Hampir 80 persen keturunan Melayu di Malaysia adalah keturunan orang Indonesia. Ada keturunan Aceh, Minang, Sumatera Utara, Jambi, Palembang, Jawa, Madura, Bawean, dan Bugis," kata Adi Lazuardi, wartawan kantor berita Antara, yang tinggal di Kuala Lumpur. Adi Lazuardi menyebut itu dalam tulisan terbarunya menyambut Hari Kemerdekaan Malaysia ke-52 pada 31 Agustus 2009 ini.

Sisa 20 persen Melayu lagi adalah warga Melayu Muda (Proto-Melayu) yang sudah bermukim di Semenanjung Malaysia sejak sebelum Islam masuk. Mereka satu keturunan dengan warga Melayu yang sekarang menyebar di Riau, Kepulauan Riau dan Bangka Belitung karena dulunya pernah menjadi bagian dari satu kerajaan. Selain Melayu, ada lagi Cina, India, dan "Orang Asli." "Orang Asli," begitu istilah resmi pemerintah Malaysia, diperkirakan hanya berjumlah 150 ribu orang. Mereka adalah penduduk Negrito di perbatasan Malaysia-Thailand, Senoi di Pahang, Dayak di pulau Borneo atau Indonesia menyebutnya Kalimantan.

Warga pendatang itu pula yang menggerakkan revolusi kemerdekaan Malaysia dan Singapura. Kepala negara pertama Malaysia, seperti disebut sebelumnya adalah keturunan Minang. Kepala negara pertama Singapura, Yusof bin Ishak, memiliki ayah keturunan Minangkabau.

Peletak dasar garis ekonomi Malaysia sehingga kemudian dijuluki "Bapa Pembangunan" adalah Tun Abdul Razak, bapak dari PM sekarang Najib Bin Abdul Razak. Tun Abdul Razak adalah keturunan ke-10 Raja Gowa, Sulawesi Selatan. Nenek moyangnya lari ke Pahang Malaysia karena Gowa kalah berperang melawan Belanda. Di Malaysia, seorang Bugis lebih baik mengaku Bugis daripada mengaku sebagai orang Indonesia. Dilahirkan sebagai Bugis sangat membanggakan karena setidaknya tiga dari sembilan kerajaan yang mendirikan Federasi Malaysia adalah keturunan Bugis-Makassar.

Kisah sukses keturunan Indonesia itu berlanjut sampai sekarang. Menteri Pertahanan Malaysia, Ahmad Zahid Hamidi, berkakek orang Yogyakarta. Rais Yatim, Menteri Penerangan dan Kebudayaan Malaysia, melewatkan waktu kecil di Sawahlunto, Sumatera Barat. Penyanyi terkenal Malaysia sekarang, Mawi, juga masih keturunan Indonesia.

Sebaliknya, juga ada cerita keturunan Johor, Malaysia, yang sukses di Indonesia yakni Yusril Ihza Mahendra. Kakek buyut mantan Menteri Sekretaris Negara ini adalah Tengku Haji Thaib, seorang bangsawan Johor yang meninggalkan istana dan menjadi orang biasa.

Adi Lazuardi berpendapat, kesuksesan Malaysia dibangun juga oleh orang-orang perantauan asal Indonesia yang turut menyulap negara yang bergantung kepada karet itu menjadi negara maju dengan topangan sektor jasanya yang cemerlang, seperti pariwisata, perbankan dan pendidikan. Indonesia berperan memberi jutaan tenaga kerja murah.
Namun tidak sedikit pula peran ekspatriat Indonesia berkeahlian tinggi dalam memajukan perusahaan dan BUMN Malaysia sehingga banyak diantaranya berubah menjadi perusahaan kelas dunia. "Jika ada 10 penentu kebijakan di Petronas, enam dari 10 orang itu adalah warga Indonesia," kata Da'i Bakhtiar, Duta Besar Malaysia, seperti dikutip Adi Lazuardi.

Secara nasional, ekonomi Indonesia lebih besar daripada Malaysia sehingga membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bisa duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan 19 pemimpin negara ekonomi kuat lainnya termasuk Amerika Serikat dan Jerman yang tergabung dalam G20.
Namun secara pendapatan perkapita, CIA World Factbook merilis Malaysia empat kali lebih besar  daripada Indonesia. Malaysia memiliki US$ 15.300, sementara Indonesia US$ 3.900. Artinya, rata-rata penduduk Malaysia lebih makmur daripada Indonesia. "Saya berpuas hati karena dilahirkan di Malaysia karena Malaysia adalah negara yang maju dibandingkan dengan Indonesia," kata Eva, sepupu saya.

Eva memang pantas berbangga hati. Adi Lazuardi menulis perusahaan dan BUMN Malaysia berkembang menjadi perusahaan kelas dunia yang bahkan ikut merambah masuk ke Indonesia. Infrastruktur ekonomi Malaysia sangat bagus, jalan raya membentang mulus seantero negeri. 2020, Malaysia menargetkan diri sebagai negara jasa dengan infrastruktur ekonomi sekelas negara-negara maju seperti Eropa dan Amerika.

Sebagai negara berorientasi jasa, pariwisata merupakan salah satu sektor yang menjadi perhatian Malaysia. Pada 2008, Malaysia menganggarkan US$ 100 juta untuk mempromosikan wisatanya. Sementara Indonesia, tahun yang sama, baru menaikkan anggarannya ke angka Rp 340 miliar atau sepertiga anggaran Malaysia. Anggaran yang besar untuk sektor pariwisata ini pula yang memicu kontroversi terbaru hubungan Indonesia-Malaysia: sebuah iklan pariwisata Malaysia menggunakan tari khas Bali, Tari Pendet, tayang di Discovery Channel.

***

"Apakah benar-benar berarti jika nenek moyang seseorang datang dari India, China atau Indonesia? Apakah benar-benar berarti jika sebuah keluarga pertama kali bermukim di Malaysia 2.000 tahun lalu atau 20 tahun lalu?"

Itulah pertanyaan yang diajukan Neil Khor, kolumnis di Malaysiakini.com. Pengamat sosial-sejarah kelahiran Penang, Malaysia, ini menggugat konsep "Warga Malaysia" berdasarkan etnis dan sudah beberapa generasi menetap di Malaysia. Sebuah penelitian genetika menemukan Negrito yang sekarang terpencil di utara Malaysia adalah penghuni pertama Malaysia, sebelum digantikan Melayu Muda. Hasil riset ini, kata Neil, membuktikan konsep bumiputera tak bisa lagi dipertahankan. "Yang penting adalah kesetiaan pada negara dan komitmen pada Malaysia, komunitas impian kita," ujar pria bernama asli Khor Jin Keong itu.

Malaysia memang dihadapkan pada ketegangan etnis karena kebijakan ekonomi dan politik negara yang cenderung menguntungkan kubu Melayu yang umumnya beragama Islam. Tiga hari sebelum peringatan Hari Kemerdekaan Malaysia ke-52 tahun, muncul demonstrasi massa yang menolak pendirian kuil Hindu di negara bagian Selangor. Demonstrasi puluhan umat Islam ini sambil menenteng kepala sapi, hewan yang disucikan umat Hindu yang minoritas di Malaysia. Jelas etnis India dan China yang minoritas tersinggung. Ketegangan ini membuat "komunitas impian" Malaysia berada dalam krisis identitas karena di satu sisi adalah negara Islam, sementara di sisi lain adalah negara yang beraneka ragam sesuai slogannya, Unity in Diversity.

Belum lagi problem Melayu yang berjumlah 60 persen dari 28 juta penduduk yang sebagian besarnya adalah keturunan Indonesia. Dominasi Melayu dengan begitu berarti dominasi "Indonesia" menimbulkan konflik baru pula dengan tetangga Indonesia. Kebudayaan yang mereka bawa dari tanah air sebelumnya memunculkan kecemburuan dari jirannya. Padahal, "sepatutnya Indonesia berbangga karena Malaysia mengikuti irama dan rentak lagu Indonesia," kata Eva, sepupu saya yang masih berusia 19 tahun itu. "Ia memang budaya Malaysia juga, lagipun kita menggunakan bahasa yang lebih kurang sama," katanya.

Sementara, pendidikan nasionalisme yang intensif melalui sekolah dan media di Indonesia, telah berhasil pula menciptakan generasi "Komunitas Impian" Indonesia. Ditambah dengan kecemburuan karena ketimpangan ekonomi, dengan gampang pula "nasionalisme" itu terbakar. Lekat pulalah cap Malingsia, tanpa pernah tahu sebenarnya juga mereka, Malaysia, dalam hal tertentu juga berhak menggunakan kebudayaan yang sama dengan kita

source : vivanews.com

################################################### 

No comments:

Post a Comment