Masalah Selalu datang menghampiri kita setiap hari, jangan pernah katakan untuk menyerah dalam mengatasi masalah. Kita merasa punya masalah ketika harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Konflik, baik intrapersonal, interpersonal maupun konflik sosial merupakan bagian dari masalah yang kita hadapi. Interaksi interpersonal dan social paling sering memicu konflik. Kita pasti sering merasa sudah sangat dekat, sangat memahami dan sanggup menerima seseorang apa adanya, tetapi ketika ada sedikit saja yang tidak sesuai dengan perasaan atau pemikiran kita, kita merasa tak akan ada solusi. Kedekatan hati dan kesiapan berbagi tidak selalu membuahkan harmoni karena hidup memiliki banyak sisi untuk dimengerti, dinikmati, dijalani sepenuh hati.
Pemicu utama konflik ialah perbedaan. Berlanjut menjadi pertengkaran, pertentangan dan kemudian bisa berpotensi menjadi konflik yang lebih serius. Konflik, sekecil apapun kelihatannya, tidak bisa dianggap sepele juga tidak harus disikapi secara berlebihan. Kita bisa mengelola sikap kita dalam menghadapi konflik dengan mengetahui dan memahami akar permasalahannya.
Pertama, konflik muncul karena seseorang tidak terbiasa menyikapi perbedaan dengan tepat. Manusia diciptakan dengan ribuan sifat dan watak yang berbeda, sehingga cara dan sikap hidup tiap orang tidak sama. Kesadaran akan adanya keragaman dan perbedaan ini yang mutlak diperlukan untuk kelangsungan setiap hubungan baik personal maupun interaksi sosial. Kedua, timbulnya konflik juga dipicu oleh sikap egoistis, selalu membenarkan pendapat sendiri dan merasa diri paling benar. Dalam pola komunikasi internal keluarga maupun lingkungan sosial, sikap seperti ini banyak kita temukan.Berbeda pendapat sering dianggap sebagai ancaman bahkan serangan terhadap eksistensi seseorang. Tiap individu memiliki keinginan, dan kebutuhan yang tidak selalu sama. Cara pandang setiap orang terhadap konflik akan menentukan pula cara ia menghadapi dan menangani konflik.
Ada beberapa hal yang bisa dijadikan landasan dalam mengelola sikap terhadap konflik.
- Bersikap dan bertindak bijak terhadap kelebihan dan kekurangan orang lain (orang tua, pasangan hidup, sahabat atau orang yang kurang kita sukai). Sikap bijak lahir dari kesadaran diri bahwa tiada manusia yang sempurna. Kekurangan orang lain kerap kali menyulut konflik ketika kita tidak siap dan tidak mau menerimanya. Kelebihan orang lain pun tak jarang membuat kita merasa iri, benci memusuhi dan akhirnya jadi dengki… Naudzubillah. Kekurangan seseorang, baik moral maupun material bukan untuk dihakimi. Kekurangan adalah sisi ketidaksempurnaan yang patut kita lengkapi dengan pengertian, serta keikhlasan untuk membantu memperbaikinya. Sedangkan kelebihan orang merupakan anugerah Alloh SWT yang sangat pantas kita syukuri. Berani mengakui kelebihan orang dan menghargainya adalah bagian dari memuliakan Yang Maha Bijaksana. Memang tidak mudah merealisasikannya karena butuh keikhlasan untuk melakukannya. Namun, dengan belajar dan berlatih memahami orang lain akan menuntun kita pada sikap dan tindakan yang bijak. (saya juga sedang belajar)
- Bersikap dan bertindak bijak terhadap diri sendiri dengan mensyukuri kelebihan yang kita miliki, memanfaatkan kelebihan diri dengan rendah hati di jalan kebaikan dan kebenaran, serta menyadari kekurangan diri dan selalu berupaya memperbaiki diri. Sebaik-baik manusia adalah yang tidak sibuk mengutuk kekurangan diri, tetapi selalu berusaha memperbaiki diri. Banyak di antara kita yang mungkin masih menganggap kekurangan (diri sendiri dan orang lain) sebagai aib yang harus di-genocida secara mutlak. Padahal, kekurangan bisa membuat kita dicintai selama kita terus berusaha memperbaikinya dan tidak selalu mengharap dikasihani. Menyadari kekurangan diri akan mmbenamkan hati kita ke dalam keinsyafan bahwa kita membutuhkan orang lain untuk berbagi, saling mengisi dan saling melengkapi.
- Melunakkan hati dan memaafkan. Untuk melakukan kedua hal ini diperlukan kesabaran dan ketulusan. Konflik seringkali membuat kita merasa tersakiti dan ingin mengakhiri sebuah hubungan dengan siapa saja. Itu mah jalan pintas. Nafsu harus dikendalikan agar tidak memicu konflik yang berkepanjangan.
Memaafkan kesalahan orang lain memang tidak mudah. Butuh waktu, kesabaran, keikhlasan dan lagi-lagi pengertian. Orang berbuat salah tidak selalu disengaja. Seperti yang pernah diungkapkan K.H. Abdullah Gymnastiar dalam tausyiahnya bahwa ada orang yang berbuat salah karena ia tidak menyadari bahwa ia salah dan ada orang yang melakukan kesalahan kemudian ia mengetahui perbuatannya salah, tetapi ia belum sanggup memperbaikinya. Mungkin orang lain yang berkonflik dengan kita juga menganggap kita yang salah dan tidak bisa dimaafkan. Makanya, agama menyuruh kita untuk saling memaafkan, selalu mengingat kebaikan orang lain terhadap kita dan melupakan jasa atau kebaikan kita terhadap orang lain agar kita dapat melatih diri mengelola emosi (nafsu amarah). Dengan melupakan jasa diri terhadap orang lain, kita bisa menghilangkan rasa sakit hati ketika orang tersebut tidak menghargai kebaikan kita. Dengan mengingat kebaikan orang lain, kita dapat melunakkan hati kita untuk tidak memasung hati dalam kebencian. Bagaimanapun, kebencian yang kita tanam akan membuat hati semakin keras dan angkuh (merasa diri tak pernah berbuat salah).
Sejatinya, konflik merupakan pembelajaran sikap hidup, pendewasaan berpikir dan pematangan jiwa seseorang. Dengan adanya konflik, kita mengetahui sifat dan karakter seseorang yang mungkin selama ini tertutupi. Konflik juga mendidik kita untuk belajar memahami orang lain, menghargai perbedaan dan mengamalkan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari yang berbhineka.
No comments:
Post a Comment